Nama : Moh. Fanny Ridho W.
Kelas : 8D No. : 07
Napak Tilas Kiai As’ad Membela Negara
Penerbit :
Tinta Medina-Tiga Serangkai
Tahun
Terbit :
2015
Cetakan
:
Pertama, Mei 2015
Jumlah
Halaman : 210 halaman
Kesatria Kuda
Putih adalah novel sejarah karya Ahmad Sufiatur Rahman. Novel ini bercerita
tentang perjalanan hidup K.H.R. As’ad Syamsul Arifin melawan Belanda. Kiai
As’ad terkenal sebagai ulama kharismatik pimpinan Pondok Pesantren Syafi’i
Salafiyah Sukorejo, Situbondo. Perjuangan dahsyatnya yang terkenal dan beberapa
kali dinapaktilasi salah satunya oleh Gus Dur, adalah gerilya perjuangan
merebut gudang mesiu milik Belanda di daerah Dabasah, Bondowoso.
Perjuangan ini
berawal ketika Belanda mengadakan Agresi Militer I di Indonesia pada 16 Juli
1947. Operasi ini oleh Belanda disebut Operatie Product. Di Jawa Timur,
pasukan Belanda mendarat di Teluk Meneng, Banyuwangi, dan Pantai Pasir Putih,
Situbondo. Mereka juga dibantu oleh KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda),
pasukan bayaran Gurkha bersenjata lengkap, tank, dan pesawat untuk merebut
kembali Jawa Timur. Jika berhasil menguasai Jawa Timur, Belanda telah berhasil
memutus hubungan kekuatan ujung timur Pulau Jawa dari Jawa bagian lain.
Kiai As’ad tidak
membiarkan Belanda menguasai Indonesia lagi. Ia kesal terhadap Belanda karena
mereka telah mengkhianati Perjanjian Linggar Jati. Kiai As’ad bersama para pelopor
di Sukorejo membuat strategi, yaitu dengan merebut alih gudang mesiu milik
Belanda. Pada saat itu Kiai As’ad sudah tua, pelopor sebenarnya tidak ingin
kiai As’ad ikut berjuang, tetapi Kiai As’ad tetap ingin berjuang.
Kiai As’ad dan
para pelopor menempuh jarak yang cukup jauh untuk menuju ke Bondowoso. Mereka
melewati hutan rimba yang jarang dilewati orang dan gunung-gunung dengan jurang
sangat terjal. Perjalanan itu mereka lakukan pada malam hari agar tidak
diketahui oleh pihak Belanda. Hingga perjuangan pun usai, mereka berhasil
mengambil alih gudang mesiu Belanda.
Novel ini tidak
fokus menceritakan Kiai As’ad, tetapi juga para pejuang lainnya yang melawan
Belanda pada Agresi Militer I, seperti Letnan Nidin dan Letnan Soenardi,
termasuk pula tokoh fiksi yang menjadi santri pejuang adalah Yusuf. Jika saja
Sufi, membuat kisah nyata itu lebih halus dan dimasukkan ke dalam penceritaan
akan lebih bagus. Mungkin penulis ingin menegaskan bahwa berita itu nyata dan
dia khawatir jika berita nyata tersebut masuk dalam penceritaan akan bertambah
dengan fiksi.
Di samping itu, novel berisi motivasi untuk para remaja zaman
sekarang, yaitu tidak selamanya orang akan berbuat jahat, suatu saat pasti akan
mendapat hidayah dari Allah. Semoga dengan
membaca novel ini akan ada banyak generasi bangsa yang meneladani sikap Kiai
As’ad yang berjuang keras untuk agama dan negara, tawadhu’, dan ikhlas.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar