Teman yang Tak Kembali
Oleh : Dimas Atoul Ibad
Suatu hari ada sebuah keluarga kecil di
perumahan yang tak jauh dari kota. Keluarga kecil itu terdiri dari ayah, ibu,
dan 1 anak. Anak itu bernama Fadil. Fadil yang yang berusia 12 tahun itu kesal
dengan perilaku ayahnya setiap hari yang selalu bertengkar dengan ibunya.
“Bu, kenapa sih perilaku ayah akhir-akhir ini
berbeda?” tanya Fadil kepada ibu. “Ibu juga tidak tahu kenapa perilaku ayah
akhir-akhir ini berbeda,” sahut ibu.
Suatu saat ketika ayah baru pulang dari
kantor, ia langsung memberitahu ibu bahwa ia akan menceraikan ibu. Fadil yang
langsung mendengar ucapan ayah tak kuasa membendung air yang berlinang dari
matanya seraya mengatakan di dalam hatinya, “Andai aku sudah dewasa, aku akan
melawan ayah dan membela Ibu. Besoknya pun Ayah, Ibu, dan Fadil berangkat ke
pengadilan untuk mengurusi perceraian ayah dan ibu. Ketika sidang berlangsung,
hakim membacakan surat pernyataan bahwa Fadil akan diasuh oleh ayahnya.
“Bu, jangan pergi, jika ibu pergi aku dengan
siapa?” ucap Fadil dengan memegangi tangan ibunya yang halus. “Tenang saja Nak,
ayah pasti akan mengasuhmu dengan baik seperti ibu mengasuhmu,” kata ibu dengan
berlinang air mata.
Seusai dari pengadilan Fadil pun pulang tidak
bersama ibunya lagi, melainkan bersama ayahnya. Sesampai di rumah ayah berkata,
“Ayah akan menikah lagi.”
“Kenapa
ayah akan menikah lagi?” tanya Fadil. “Ayah akan mencarikan ibu yang lebih baik
untuk kamu,” jawab ayah menurunkan suaranya.
Satu bulan kemudian ayah menikah lagi. Setelah
menikah ternyata istri ayah merantau ke luar negeri dan meninggalkan satu orang
anak. Anak itu bernama Irsyad. Irsyad sangat dimanja oleh ayah, Fadil pun
merasa geram melihat perlakuan ayah.
“Syad,
kamu di sini cuma numpang ya, bukan menjadi anak Ayah,” kata Fadil dengan nada
tinggi kepada Irsyad. Ayah pun langsung memukul dan memarahi Fadil. Fadil pun
tidak betah di rumah. Dia pergi ke rumah temannya yang bernama David. David
adalah sahabat sejati Fadil dari kecil.
“Ada
apa Dil kamu ke rumahku? tumben, biasanyakan kamu jarang ke rumahku,” tanya David
seraya membersihkan rumah.
“Iya nih, aku tidak betah di rumah, aku merasa
diduakan oleh ayahku semenjak kedatangan Irsyad, anak ibu tiriku,” jawab Fadil
dengan nada kesal.
“Ya
sudahlah, kalau kamu tidak betah di rumah, kamu boleh menginap di rumahku, aku
akan siap menemanimu jika kamu bosan di rumah,” kata David dengan perasaan
senang.
“Terima kasih temanku, kau memang teman
sejatiku,” ucap Fadil dengan memeluk tubuh David.
Setelah dari rumah David, Fadil pulang ke
rumahnya. Ternyata sesampai di rumah, Irsyad dibelikan sepeda baru oleh ayah.
Sepeda itu pun dipamerkan Irsyad kepada Fadil.
“Syad, kamu jangan sombong ya di sini, jika
kamu sombong aku tidak segan-segan memukul kamu, memang kamu ini siapa di
sini,” kata Fadil kepada Irsyad dengan nada tinggi. Ayah pun tahu hal itu, ia
tidak segan-segan memarahi Fadil. Fadil pun sangat geram dan tidak betah di
rumah, ia pergi dari rumah. Ia menuju rumah David untuk menginap.
Sesampai di depan rumah David ia diberitahu
oleh tetangga David bahwa David terkena sakit parah di rumah sakit. Lantas ia
langsung pergi ke rumah sakit dimana David dirawat. Sesampai di rumah sakit ia
langsung menuju kamar David. Sesudah sampai di kamar David ia bertanya kepada
David, “Vid, kamu sakit apa? kok, sampai masuk rumah sakit begini.”
“Aku
terkena radang selaput otak (meningitis),” ucap David sambil merintih kesakitan
di kepalanya.
“Waduh kasihan
sekali kamu, kalau begitu aku akan menemanimu, memberimu dukungan, dan menjagamu
supaya kamu lekas sembuh,” kata Fadil dengan memegangi tangan David.
“Terima kasih temanku, kau memang teman
sejatiku dikala aku senang maupun sedih,” sahut David dengan senyum di
mulutnya.
Setelah itu David berpesan kepada Fadil, “Dil, kalau kamu punya masalah dengan keluargamu,
kamu jangan menghindar dari masalah itu, karena kalau kamu menghindar, kamu
akan mendapat masalah yang baru, dan itu akan membuat kamu menjadi semakin lebih
menjauh dari keluargamu. Oleh karena itu, kamu harus sabar dan tabah dalam
menjalani masalah itu, karena Tuhan akan selalu membantumu.”
“Terima
kasih juga Vid, kamu sudah mendukungku dalam keadaanku yang seperti ini, aku
akan selalu mengingat kata-katamu itu selama hidupku,” ucap Fadil dengan senyum
di wajahnya.
Jam menunjukkan pukul 00.30, Fadil lalu keluar
dari kamar David dirawat, ia pergi keluar untuk mencari suasana segar. Ia pergi
ke warung di depan rumah sakit, ia membeli secangkir kopi. Setelah itu ia pergi
ke mushola dekat rumah sakit, ia beristirahat sejenak di mushola itu, kemudian
ia melakukan shalat malam, setelah shalat, ia mempunyai firasat buruk akan
menimpa David. Lalu firasat itu tidak dihiraukan oleh Fadil, Fadil pun pulang
ke rumahnya. Ternyata dalam perjalanan menuju rumahnya, dia bertemu dengan
ibunya yang yang mengendarai mobil.
“Bu, aku
sangat kangen sekali dengan Ibu, bagaimana dengan kabar Ibu?” ucap Fadil kepada
ibunya dengan perasaan yang gembira.
“Ibu baik-baik saja, lantas apa yang sedang
terjadi padamu saat ini?” tanya ibu kepada Fadil.
“Bu,
aku mempunyai teman, temanku itu terkena meningitis. Aku juga pergi dari rumah,
karena ayah menikah lagi, dan istrinya itu mempunyai anak, setiap hari aku
selalu ribut dengan anak itu. Pada suatu
ketika ayah tahu keributanku, ayah langsung marah dan memukulku, aku menjadi
tidak betah di rumah, lalu aku meninggalkan rumah sampai sekarang dan belum
kembali. Aku sangat kesal pada waktu itu, seolah-olah hari itu menjadi hari
tersial bagiku,” ucap Fadil kepada ibunya.
“Wah..., kasihan sekali kamu Nak, kamu menjadi
tersiksa ketika Ibu pergi,” kata ibu dengan perasaan sedih di hatinya.
Setelah lama berbincang-bincang, mereka
berhenti di suatu masjid untuk melaksanakan shalat subuh. Setelah shalat subuh,
Fadil meminta ibunya untuk menghentikannya di perempatan jalan. Lalu ia tidak
kembali pulang ke rumahnya, ia malah kembali ke rumah sakit untuk menjenguk
David. Ketika sampai di rumah sakit, ternyata David sudah agak membaik
keadaannya.
“Vid,
keadaanmu sudah agak membaik daripada tadi malam, aku sangat senang melihatmu
sekarang,” ucap Fadil kepada David.
“Iya Dil,
aku sudah agak membaik, ini berkat doa dan dukunganmu, terima kasih Dil,” kata
David dengan merendah.
“Iya,
sama-sama,” ucap Fadil kepada David.
Kemudian pada suatu malam, David meminta
dibelikan jus jambu merah oleh Fadil. Fadil pun menyetujuinya.
“Terima
kasih ya Dil, kamu sudah mau membelikanku jus,” ucap David.
“Tidak
usah terima kasih, ini kan kewajibanku sebagai sahabat,” kata Fadil. Setelah
meminum jus, mereka pun tertidur lelap.
Besoknya pun Fadil terkejut ketika terbangun
dari tidur, “Lho, di mana David, kok tidak ada di tempat tidur. Dia pun
langsung menuju ruang administrasi untuk mencaritahu di mana keberadaan David.
Setelah tahu keberadaan David, Fadil pun langsung tertunduk lesu tak berdaya.
Ternyata David berada di kamar jenazah, dia meninggal ketika Fadil sedang
tertidur lelap.
“Oh
tidak..., teman yang selalu memberiku nasihat kini telah tiada, hanya
kenanganlah yang selalu kuingat selalu,” kata Fadil sembari memegang kepalanya.
Tak
lama kemudian ibu Fadil datang untuk menjenguk David. “Hai Dil, ada apa
denganmu?” tanya ibu kepada Fadil.
“Aku
sangat sedih dan berduka cita Bu, karena temanku David kini telah tiada. Dia
meninggal dunia tadi malam ketika aku sedang tertidur lelap,” ucap Fadil sambil
memeluk ibunya yang baru datang.
“Sungguh sangat malang nasibmu, ibu akan ikut
sedih jika kau menangis begitu, ikhlaskan kepergian David untuk selama-lamanya!
Dia tidak akan mungkin kembali lagi ke dunia ini,” kata ibu kepada Fadil. Fadil
pun menuruti kata-kata ibu.
Besoknya kemudian David dikubur di pemakaman
umum dekat rumahnya. Setelah David dikubur, Fadil baru teringat akan firasatnya
kemarin. Ternyata firasatnya itu adalah David meninggal dunia. Lantas ia
merenungi sifat-sifat baik David yang diberikan kepadanya. Ia menjadi tidak
sedih lagi karena mengingat kebaikan David.
Ia
berkata, “Jika aku terus bersedih dan tidak ikhlas akan kepergian David, ia
tidak akan tenang di sana, ia juga akan ikut sedih melihatku begini. Semoga dia
tenang di alam sana, kebaikan dan jasanya akan selalu kukenang. Dia memang
sahabatku yang tak tergantikan walaupun dia tak akan pernah kembali lagi,” begitulah
kata-kata Fadil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar